3. Sabar
Sabar juga termasuk ibadah
batin yang tinggi nilainya dalam pandangan Allah. Banyak firman Allah tentang
sabar di dalam al-Qur’an, antara lain:
Artinya:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala
mereka tanpa batas.
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اسْتَعِيْنُوْا بالصَّبْرِِوَالصَّلاَةِ
إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابرِيْنَ [2]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, mohonlah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (menjalankan) shalat, Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.
Sebaliknya, orang yang tidak
sabar, yaitu putus asa, menggerutu, gegabah, terburu-buru, dan sebagainya,
berat sekali akibat
yang dideritanya; bahkan diperingatkan oleh Allah SWT, seperti disebutkan di
dalam hadis qudsi:
أنَا اللهُ لآ إِلهَ إِلاَّ أَنَا مَنْ لَمْ يَشْكُرْ
عَلَى نَعْمَآئِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلآئِي وَلَمْ يَرْضَ بِقَضَآئِي فَلْيَتَّحِذْ
رَبًّا سِوَآئِي
Artinya:
Aku Allah, tiada Tuhan melainkan Aku; siapa tidak
bersyukur atas nikmat-nikmat pemberian-Ku, tidak bersabar atas ujian-Ku dan
ridla terhadap kepastian qadla-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku.
Pengertian dan praktek sabar
luas sekali, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
الصَّبْرُ ثَلاَثَةٌ فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ وَصَبْرٌ
عَلَى الطَّاعَةِ وَصَبْرٌ عَنِ المَعْصِيةِ... (رواه ابن أبي الدنيا عن علي)
Maksudnya demikian; sabar ada tiga macam, yakni:
a.
|
صَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ
|
(Shabrun ’ala al-Mushibah)
|
b.
|
صَبْرٌ فِي الطَّاعَةِ
|
(Shabrun fi al-Tha’ah
)
|
c.
|
صَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَةِ
|
(Shabrun ’an al-Ma’shiyah)
|
a. Shabrun ’ala al-Mushibah
Shabrun ’ala al-mushibah adalah sabar, tabah, tahan
uji menghadapi berbagai ujian dan cobaan hidup. Diuji soal ekonomi, soal
kesehatan, soal keluarga, soal pekerjaan dan sebagainya. Bersabdalah Rasulullah
SAW:
Artinya:
Sabar satu saat atas mushibah
itu lebih baik daripada ibadah setahun.
b. Shabrun fi al-Tha’ah
Shabrun fi al-tha’ah adalah kuat, tabah, tekun,
rajin, dan bersunguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan; tidak menoleh ke kanan dan ke kiri; tidak
terpengaruh sekalipun bagaimana rintangan dan gangguannya.
c. Shabrun ’an al-Ma’shiyah
Shabrun ’an al-ma’shiyah adalah kuat menahan diri dari
maksiat. Betapapun pengaruh dan rayuan maksiat, orang yang sabar tidak
terpengaruh sedikitpun olehnya, tetapi menjauhkan dan menahan atau
menghindarkan diri dari maksiat. Sekalipun ada tekanan-tekanan dan
ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya, dia tidak gentar, tidak takut, dan
tetap menahan diri dari perbuatan maksiat.
Di dalam prakteknya, sabar
harus bersamaan dengan tawakkal. Di samping sabar harus tawakkal,
pasrah, sumeleh, menyerah bongkokan kepada Allah SWT. Sabar tanpa tawakkal
adalah sabar imitasi, sabar palsu, dan dengan sendirinya, salah guna dan ada
pamrih di balik sabarnya itu. Misalnya ada orang mengatakan: ”Sudah tidak
kurang-kurang saya menyabarkan diri, akan tetapi, yah, keadaan masih tetap
begini saja”. Ini bukan sabar, tetapi malah menggerutu, tidak sabar atas apa
yang dialaminya.
Definisi tawakkal
antara lain disebutkan dalam kitab Ihya’:
Artinya:
Tawakkal adalah ibarat dari bersandarnya hati kepada Wakil
satu-satunya.
Dengan demikian, tawakkal
adalah perbuatan atau sikap batin dan termasuk ibadah batin yang diperintahkan
Allah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Qur’an tentang tawakkal antara
lain:
Artinya:
Dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah-lah yang mencukupkan
(keperluan)-nya.
Orang yang tidak tawakkal
pasti mengandalkan selain Allah; dia mengandalkan kepandaian, semangat, usaha,
perjuangan, jasa-jasa, taat dan ibadah, kekuatan, dan sabarnya, dan sebagainya,
yang semua itu merupakan tandingan terhadap kekuasaan Allah. Orang seperti itu
terjebak ke dalam syirik khafi (samar), tetapi dia tidak merasa (tidak
menyadari).
Di samping sabar dan tawakkal,
ada lagi kewajiban yang harus diisi, yaitu ikhtiar (usaha) mencari keadaan yang
lebih baik. Misalnya orang sakit, di samping harus sabar dan tawakkal
atas derita sakit yang dialaminya, berkewajiban usaha mencari kesembuhan; mencari jamu atau obat ke dokter
dan lain-lain. Akan tetapi harus dijaga, di dalam ikhtiar itu jangan sampai
mengandalkan ikhtiarnya; sekalipun sudah ikhtiar, harus tetap sabar dan tawakkal.
Sebab jika orang mengandalkan usahanya, mengandalkan jamu atau obat, maka
tawakkalnya menjadi hilang, sabarnya pun hilang pula. Orang yang mengandalkan
usahanya, jika usahanya tidak berhasil, maka ia ngresulo, menggerutu,
atau bisa putus asa; jika usahanya berhasil, maka ia merasa bangga, sombong dan
semakin berlarut-larut, semakin jauh dari Allah.
Dengan demikian, sabar, tawakkal,
dan ikhtiar harus gandeng menjadi satu. Jika hanya sabar dan tawakkal saja,
tidak ikhtiar, padahal ada kemampuan dan kondisi yang memungkinkan, maka akan
terjadi salah guna, salah penerapan. Akibatnya, ia menjadi orang lumpuh usaha
alias pemalas, padahal sifat malas menjadi makanan nafsu. Kemudian dia
mengandalkan tawakkal karena sifat malas itu, dan hal ini jelas
tertipu oleh bujukan nafsunya. Begitu juga, jika hanya ikhtiar tanpa ada
kesabaran dan tawakkal, maka hal itu akan menyeret kepada kesesatan.
Sabar itu
menjadi kunci keselamatan dan alat peraih bermacam-macam pertolongan, tawfiq,
hidayah, dan perlindungan Allah SWT. Dalam kaitan ini, bersabda Rasullullah SAW:
مَنْ أُعْطِيَ فَشَكَرَ وَابْتُلِىَ
فَصَبَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغفَرَ, سَكَتَ رَسُوْلُ الله r قالَ: لهُمُ اْلأَمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني والبيهقي عن سخبرة)
Artinya:
“Siapa yang diberi kemudian bersyukur, diuji
bersabar, dizalimi memaafkan, berbuat zalim lalu minta maaf," Rasulullah
SAW berdiam sejenak, kemudian bersabda lagi, “mereka itulah orang-orang yang
aman (selamat) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (H.R.
Thabrani dan Bayhaqi dari Sakhbarah).
Sabda Rasulullah SAW lagi:
إِنَّ أَعْظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ أَعْظَمِ الْبَلآءِ وَإِنَّ
اللهَ تَعَالى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا ابْتَلاَهُ وَإِذَا صَبَرَ اِجْتَبَاهُ وَإِذَا
رَضِيَ اصْطَفَاهُ [6]
Artinya:
Sesungguhnya paling besarnya balasan Allah itu
disertai dengan besarnya balak (ujian). Dan sesungguhnya apabila Allah
SAW mencintai seorang hamba, Allah menguji nya lebih dahulu, jika sabar maka Allah memilihnya
dan jika ridla, disayanginya.
Kata-kata orang kuno yang
cocok dengan hadis tersebut adalah ”wong sabar kasihane Allah” (orang
yang sabar itu kekasih Allah). Oleh karenanya, siapa yang ingin
dikasihi, dicintai oleh Allah, maka dia harus sabar dan rida. Dikatakan bahwa “shabir”
(orang yang bersabar) itu lebih utama daripada “syakir” (orang yang
bersyukur). Sebab, terhadap “syakir” Allah menjanjikan “la-azidannakum”
(kelipatan tambahan nikmat), sedangkan terhadap ”shabir” Allah
menjanjikan “Innalla>ha ma’a al-shabirin” (Allah menyertai orang-orang
yang bersabar).
4. Rida
Dalam ajaran Wahidiyah
dikatakan, bahwa rida ialah merasa puas terhadap qad}a’-qadar Allah, meski bagaimanapun
keadaannya. Rida termasuk adab dan ibadah batin yang paling
tinggi nilainya. Dalam kaitan ini, ada firman Allah dalam al-Qur’an:
Artinya:
Dan keridlaan dari
Allah itu paling agung.
Dalam tradisi kaum sunni,
mereka biasa memberikan kata penghormatan kepada para sahabat Nabi SAW, kepada Awliya’,
‘Arifin, dan Shalihin, dalam bentuk doa: “Radliyalla>hu Ta’a>la> ’Anhum”. (semoga
Allah SWT meridai mereka).
Menurut ajaran Wahidiyah,
dalam hal rida ada dua kemungkinan; kalau tidak diridai, berarti dikecam atau
dimurkai (Jawa: dibendu) oleh Allah; tidak ada yang setengah-setengah
(setengah dikecam dan setengah diridai). Kita diberi kebebasan untuk memilih
yang mana, itu terserah pribadi kita masing-masing. Jika kita ingin diridai
oleh Allah, maka kita harus rida kepada Allah. Misalnya, kita ditakdir menderita
sakit, ditakdir mengalami ekonomi seret, sulit mencari pekerjaan,
menghadapi problem-problem rumah tangga dan keluarga, menghadapi masalah
pendidikan, masalah perjuangan, dan lain-lain, kita harus rida kepada Allah;
kita harus selalu merasa puas di dalam hati menghadapi keadaan seperti itu.
Kita tidak boleh menyesal,
menggerutu (Jawa: ngresulo), dan sebagainya, sekalipun arah ngresulo
atau rasa tidak puas itu kepada makhluk. Sebab, segala-galanya itu tidak lepas
dari Allah SWT yang menciptakan. Kita harus selalu puas dan sadar kepada Allah
yang memberi segala-galanya itu.
Sesungguhnya segala
keadaan yang dialami oleh manusia, baik keadaan yang menyenangkan maupun yang
tidak menyenangkan, itu semua harus disadari, sesungguhnya adalah rahmat kasih
Allah SWT kepada hamba-Nya,
misalnya, untuk melindungi hamba-Nya agar tidak jauh-jauh dari-Nya, agar
hamba-Nya selalu dekat kepada-Nya, supaya senantiasa kembali kepada-Nya. Sebab,
kalau hamba selalu jauh dari Allah Tuhannya, dikuatirkan ditelan atau pasti
bahkan pasti ditelan oleh imprialis nafsu yang sangat ganas dan jahat, sehingga
si hamba tersesat, menderita kehancuran dan kesengsaraan. Tentunya itu tidak dikehendaki
oleh Allah yang Rahman-Rahim (Maha Pengasih-Maha Penyayang) terhadap
hamba-Nya.
Selanjutnya Wahidiyah mengajarkan, di samping
rida, hendaklah kita tidak meninggalkan ikhtiar atau berusaha mencari
jalan keluar dari kesulitan dan kesusahan yang kita hadapi, atau berusaha untuk
mencapai keadaan yang lebih baik, tetapi kita harus selalu tetap bertawakkal
kepada Allah, agar kita tidak mengandalkan atau membanggakan usaha kita. Di samping itu,
hendaklah ikhtiar itu selalu dijiwai oleh perilaku Lillah-Billah. Jika
hanya rida saja, tanpa ikhtiar mencari jalan keluar, padahal ada kesempatan dan
kemampuan, maka itu berarti melanggar perintah, berarti
tidak melakukan ibadah lewat bidang ikhtiar yang disertai niat Lillah.
Ikhtiar itu pun harus dilakukan secara lahir dan batin. Kedua cara harus dijalankan
sebesar kemampuan. Jika hanya ikhtiar lahir saja, maka besar kemungkinan dapat
tersesat ke jalan yang keliru jika tidak mendapat hidayah dari Allah SWT, dan
jika hanya ikhtiar batin (semisal berdoa) saja, maka kurang lengkap dalam
mengisi bidang-bidang yang harus diisi.
Dengan
demikian, dalam ajaran Wahidiyah, sabar, rida, ikhtiar, dan tawakkal harus
selalu bergandengan di dalam penerapan dalam hati. Seperti halnya di dalam
ikhlas dan sabar.
Dalam
ajaran Wahidiyah, ikhtiar batin adalah berdoa memohon kepada Allah SWT; bukan pergi ke dukun-dukun atau
menggunakan mantera-mantera dan sejenisnya. Dalam kaitan ini, Romo K.H. Abdoel
Ma’roef (Muallif Shalawat Wahidiyah) pernah mengajarkan “Do’a Faraj”
(memohon diberi jalan keluar dari kesulitan dan sebagainya) karya:
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اَللَّهُمَّ بِحَقِّ اسْمِكَ اْلأَعْظَمْ, وَبجَاهِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r وَبِبَرَكَةِ غَوْثِ هَذَا الزَّمَانِ وَأَعْوَانِهِ
وَسَآئِرِ أَوْلِيآءِ اللهِ رَضِيَ اللهُ
تَعَالَي اجْعَلْ لَنَا وَلِذُرِّيَّاتِِنَا وَلِمَنْ لهُ حُقُوْقٌ عَليْنَا وَلِجَمِيْعِ
مَنْ عَمِلَ بِهَذِهِ الصَّلَوَاتِ الوَاحِدِيَّةِ وَمَنْ أَعَانَا عَلَيْهَا إِلَى
يَوْمِ الْقيَامَةِ وَ ِلأُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ r (فَرَجًا وَمَخْرَجًا وَاهْدِنَا وَإِيَّاهُمْ
صِرَاطَكَ الْمُسْتَقيْم) × 3
Artinya:
Ya, Allah, dengan hak
keagungan Asma-Mu dan dengan Kebesaran Baginda Nabi Muhammad SAW, dan sebab
berkah Ghautsu Hadzaz-Zaman dan para pendukungnya serta para kekasih
Allah Radiyallahu Ta’ala ‘anhum (semoga Allah meridai mereka),
jadikanlah bagi kami dan keluarga serta keturunan kami dan bagi orang-orang
yang ada hubungan hak dengan kami dan bagi mereka para Pengamal Wahidiyah
sampai hari Kiamat, dan bagi seluruh umat Baginda Nabi Muhammad SAW (jalan
keluar dari segala kesulitan dan kesusahan, dan tunjukilah kami dan mereka
jalan-Mu yang lurus) (dalam kurung dibaca 3 kali).
Secara
psikologis, orang yang selalu rida, niscaya hidupnya senang dan tenteram; tidak
gampang menyesal atau menggerutu. Dia selalu merasa puas dan
gembira menghadapi segala situasi dan kondisi hidupnya. Ibaratnya, seperti
falsafah itik yang berenang di atas air yang dangkal maupun air yang dalam,
tetap setinggi dadanya. Hidupnya
tenteram, tidak bingung, tidak kuatir, tidak takut melainkan hanya kepada
Allah. Hatinya senantiasa menghadap kepada Allah. Sebaliknya, orang yang tidak
rida atas qada’-qadar Allah, pasti mudah menggerutu, menyesal, dan
emosi. Padahal qad}a’-qadar Allah tidak dapat berubah
karena tidak ridanya si hamba. Bahkan selain itu, orang yang tidak rida atas qada’-qadar
Allah, tidak diakui sebagai hamba-Nya seperti disebutkan di dalam Hadis Qudsi
di muka, pada pembahasan tentang sabar.
5. Mahabbah
(Cinta)
Mahabbah atau cinta, menurut ajaran
Wahidiyah, adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; cinta kepada para
Nabi, para Rasul, dan para Malaikat; cinta kepada para keluarga dan para
Sahabat Beliau SAW; cinta kepada para Wali Allah; cinta kepada
para Ulama, kepada pemimpin, kepada orang tua, dan keluarga; dan umumnya kepada
segenap umat Islam dan kepada segala makhluk ciptaan Allah pada umumnya.
Cinta
kepada Allah, al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), harus cinta juga kepada
makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi cintanya kepada Khaliq sudah tentu
harus tidak sama dengan cintanya kepada makhluk-Nya. Pada prinsipnya, kepada
segala makhluk, berupa dan berbentuk apa saja dan bagaimanapun juga wujudnya,
kita harus mencintainya. Kita mencintainya, karena ia adalah ciptaan Allah SWT,
sekalipun makhluk itu berupa sesuatu yang menjijikkan atau menakutkan;
sekalipun berupa maksiat atau munkarat. Atas dasar pengertian bahwa itu
semua ciptaan Allah, kita harus mencintainya. Akan tetapi, di samping cinta,
kita diperintah supaya menjauhkan diri dan tidak menyukai maksiat dan munkarat.
Dengan demikian, pandangan
kita harus dobel; di samping cinta atau senang, harus pula tidak senang dalam
arti ingkar, dalam arti harus menjauhkan diri darinya. Kita senang
terhadap dzatiyah ma’shiyat dan munkarat, karena kita
mengingat bahwa itu adalah ciptaan Allah yang kita cintai. Akan tetapi kita
harus tidak senang dan harus menghindarkan diri dari perbuatan maksiat dan munkarat
karena memang diperintah begitu oleh Allah.
Dengan
demikian, kita senang atau cinta kepada dzatiyah ma’shiyat dan munkarat
karena itu semua sama-sama ciptaan Allah, dan kita harus tidak senang
(menjauhi) perbuatan maksiat dan munkarat karena dilarang
melakukannya. Jika kita hanya senang dan cinta saja kepada maksiat dan munkarat, tetapi
tidak ingkar dan tidak menjauhinya, maka berarti kita melanggar perintah Allah.
Jika kita hanya membencinya saja, tanpa ada rasa senang bahwa itu adalah
makhluk, maka berarti kita melukai kepada makhluk atau lebih-lebih, menghina
makhluk, yang berarti juga melukai kepada Khaliq (Pencipta)-nya.
Dalam ajaran Wahidiyah, cinta atau senang maupun
benci atau tidak senang itu harus didasari oleh Lillah-Billah. Jika hal
itu tidak dijiwai oleh Lillah-Billah, niscaya dasarnya adalah nafsu (linnafsi-binnafsi),
dan jika demikian, maka pasti ada pamrih untuk kesenangan nafsu. Ini
berarti, bahwa cintanya adalah cinta gadungan, cinta palsu, tidak tulus, tidak
murni; bukan cinta sejati; cinta karena “ada udang di balik batu” (pepatah; ada
pamrih atau kepentingan). Ini dapat membahayakan. Sebab, jika sesuatu yang
menjadi daya tarik cinta itu hilang atau tidak kelihatan, maka secara
logis, yang terjadi adalah tidak cinta lagi. Begitu juga benci atau tidak
senang harus dijiwai oleh Lilla>h-Billa>h. Jika tidak, maka hal itu hanya menuruti kemauan
nafsu, tidak atas dasar menjalankan perintah.
Seperti
keterangan di atas, cintanya kepada makhluk harus tidak sama dengan cintanya
kepada al-Khaliq. Cinta kepada makhluk haruslah hanya sebagai realisasi
atau pelaksanaan cinta kepada al-Khaliq, atau sebagai manifestasi (cetusan) rasa cinta kepada al-Khaliq; tidak boleh memadukan antara
cinta kepada al-Khaliq dan cinta kepada makhluk, karena
hal seperti ini berbahaya. Lebih-lebih, cinta kepada makhluk tidak boleh
mengalahkan cinta kepada Sang Khaliq. Dalam kaitan ini Allah SWT telah
berfirman:
قُلْ
إِنْ كَانَ آبآؤُكُمْ وَأ َبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَآ
أَحَبَّ إِليْكُمْ مِّنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُواْ
حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يهْدِي الْقوْمَ الْفَاسِقِيْنَ [8]
Artinya:
Katakanlah (wahai Muhammad),
jika bapak-bapak kamu sekalian, anak-anak kamu sekalian, saudara-saudara kamu
sekalian, suami/isteri kamu sekalian, keluarga kamu sekalian, harta benda yang
kamu sekalian kumpulkan, perniagaan yang kamu sekalian takut menderita rugi dan
rumah tempat tinggal yang kamu sekalian senangi, jika semua itu lebih kamu
cintai daripada Allah wa Rasulihi dan daripada berjuang di jalan-Nya,
maka bersiap-siaplah sampai Allah menurunkan perintah penyiksaan-Nya dan Allah
tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
Kemudian
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِليْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخاري ومسلم وأحمد والتر مذي وابن ماجه عن انس y)
Artinya:
Tidaklah sempurna iman salah satu dari kamu
sekalian sehingga Aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri, hartanya dan
manusia semuanya (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari
Anas).
Dengan
demikian, cinta kita kepada diri kita sendiri, kepada orang tua, kepada suami
atau isteri, kepada keluarga, dan lain-lain, itu semua seharusnya hanya sebagai
cetusan rasa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini, menurut ajaran
Wahidiyah, dapat timbul dari hati yang senantiasa menerapkan Lillah-Billah,
Lirrasul-Birrasul, dan Lilghauts-Bilghauts, dan rajin melakukan
Mujahadah Wahidiyah, serta memperbanyak tafakkur. Tafakkur
tentang keagungan Allah, tafakkur tentang kebesaran, kemuliaan atau
keluhuran budi Rasulullah, dan tafakkur tentang keindahan-keindahan yang
terdapat pada segenap makhluk Allah.
Mahabbatullah dapat bertambah mendalam dan
bertambah murni dengan mahabbatur-Rasul, dan mahabbatur-Rasul
dapat menjadi subur antar lain dengan memperbanyak mengingat Rasulullah di
mana saja kita berada dan memperbanyak bacaan shalawat, khususnya Shalawat
Wahidiyah, serta memperbaiki dan meningkatkan hubungan batin dengan Ghauts
hadzaz-Zama>n. Caranya, antara lain,
mempraktekkan “Haqiqah al-Mutaba’ah Ru’yah al-Matbu’ ‘inda Kulli Syay’in”
sebagaimana telah bahas pada bagian tentang “Al-Ta’alluq Bijanabihi di
muka.
Bersabda
Rasulullah SAW:
مَنْ
أَحَبَّ شَيْئاً أَ كْثَرَ مِنْ ذِكْرهِ (رواه الد يلمي عن عا ئشة)
Artinya:
Siapa mencintai sesuatu, dia banyak menyebut (mengingat) sesuatu itu (H.R. Daylami dari Aisyah RA).
Artinya:
Perhatikanlah, tidak disebut beriman orang yang tidak mempunyai rasa
cinta.
Dengan
demikian, mahabbatullah dan mahabbatur-Rasul itu merupakan
pakunya iman. Iman tanpa mahabbah adalah iman yang goyah, tidak mantap.
Hanya bagaikan plakat tempelan yang mudah luntur, mudah lapuk dan mudah mretheli.
(lepas).
Pengakuan
iman dan mahabbah tidak cukup hanya dengan pernyataan lisan saja. Harus
menjadi kenyataan yang meresap ke dalam, tembus di dalam hati dan buahnya dapat
dilihat pada ahwal lahir. Ahwal atau tindakan lahir baik yang hubungan
di dalam masyarakat maupun yang hubungan kepada Allah dan kepada Rasulullah.
Mengaku cinta Allah dan Rasul-Nya, tetapi tidak ada kenyataan yang dapat
dilihat pada haliyah lahir, jelas suatu pengakuan palsu dan pura-pura.
Berat sekali akibatnya di akhirat kelak.
Dalam kitab Siraj al-Thalibin dijelaskan:
لَيْسَ
فِي الجَنَّةِ نَعِيْمٌ أَعْلَى مِنْ نَعِيْمِ أَهْلِ الْمَحَبَّةِ وَالْمَعْرِفَةِ
وَلاَ فِي جَهَنَّمَ عَذَابٌ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ مَنِ ادَّعَى الْمَحَبَّةَ وَالْمَعْرِفَةَ
وَلمْ يَتَحَقَّقْ بشَيْئ مِنْ ذَلكَ
Artinya:
Di surga tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripada kenikmatan
orang-orang ahli mah}abbah dan ma’rifat,
dan di neraka tidak ada siksa yang lebih dahsyat lebih mengerikan daripada
siksanya orang yang mengaku mah}abbah dan ma’rifat
tetapi tidak ada kenyataannya.
Seseorang jika sungguh-sungguh mahabbatullah
dan mahabbatur-Rasul mestinya lebih senang menjalankan apa saja yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi apa saja yang
dilarangnya. Amal ibadahnya sungguh-sungguh ikhlas tanpa pamrih, demi untuk
mahbub (yang dicintai). Senantiasa Lillah dan Lirrasul! Ia selalu
ingat kepada mahbub (yang dicintai) dalam keadaan bagaimana pun juga.
Ketika mengalami musibah hidup yang bagaimana saja, ia tetap sabar, ridla dan
gembira oleh karena yang menguji adalah Mahbub (Allah yang dicintainya).
Adapun yang hubungan di dalam
masyarakat, dengan sesama makhluk pada umumnya dia senantiasa takhalluq
biahklaqi mahbubihi (berbudi pekerti meniru budi pekerti Allah wa
Rasulihi.. Seperti kasih sayang dan senang terhadap apa saja yang
dikasihi oleh mahbub (kekasih)-nya. Bersikap rauf-rahim, senang
memberi pertolongan kepada siapa saja. Tindak lakunya selalu menyenangkan dan
membuahkan manfaat bagi masyarakat. Tidak menonjolkan diri, selalu tawadhu’
dan ramah tamah. Akan tetapi dimana perlu bertindak tegas patriotik dan heroik
bersikap pahlawan di dalam membela kebenaran dan keadilan yang dikehendaki oleh
mahbub-nya, yakni Allah wa Rosulihi.. ” Yajtahidu fil
Sabiilillah” bersungguh-sungguh di jalan Allah. Tidak sayang mencurahkan
tenaga, harta dan apa saja yang dimilikinya demi buat yang dicintai.
Di antara tanda-tanda cinta secara umum adalah
sifat “cemburu”. Cemburu terhadap orang lain yang ikut mencintai mahbubnya. Ini
tanda-tanda cinta antar sesama manusia. Akan tetapi cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya justru sebaliknya dari itu. Ya
cemburu, kuatir dan resah hatinya melihat orang lain yang tidak cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Maka ia berusaha agar orang lain ikut mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Kalau perlu dengan segala pengorbanan. Apa yang
ada pada dirinya dicurahkan demi agar orang lain ikut mencintai Allah dan
Rasul-Nya.
Dalam mahabbah
ada tingkat-tingkat ukuran dan kualitasnya, yakni:
a. Pertama : Mah}abbah Shifatiyah,
b. Kedua : Mah}abbah Fi’liyah,
c. Ketiga : Mah}abbah Dzatiyah.
a. Mahabbah
Shifatiyah
Mahabbah
Shifatiyah adalah
cinta karena tertarik kepada sifat-sifat dari yang dicintainya. Gagah, cantik,
simpatik, lincah, pandai dan sebagainya. Cinta semacam ini mudah berubah dan
mudah kena pengaruh. Jika sifat-sifat yang menjadi daya tarik itu hilang atau
berubah atau tidak kelihatan, maka cintanyapun berubah bahkan bisa hilang sama
sekali. Bahkan mungkin bisa menjadi kebencian.
b. Mahabbah Fi’liyah
Mahabbah
Fi’liyah adalah
cinta karena tertarik pekerjaan, jabatan atau kekayaan orang yang dicintai.
Cinta semacam ini juga tidak wantek, mudah berubah seperti halnya mah}abbah sifatiyah. Yang wantek
adalah:
c. Mah}abbah Dzatiyah
Mahabbah
Dzatiyah adalah
cinta terhadap zat atau wujudnya yang dicintai, bagaimana pun keadaan dan rupa
serta bentuknya. Inilah cinta sejati.
Dalam Mahabbatulloh
wa mahabbatur-Rasul seharusnya terkumpul ketiga macam cinta tersebut, yakni
mahabbah sifatiyah, mahabbah fi’liyah, dan mahabbah dzatiyah, dan
ini dapat ditumbuhkan di dalam hati dengan melatih hati, memperbanyak tafakkur,
dan melaksanakan Mujahadah Wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan
bimbingan Muallifnya. Tafakkur (berfikir) dalam hal ini meliputi tafakkur
terhadap sifat Jamal, sifat Jalal, dan sifat Kamal Allah,
dan berfikir tentang keluhuran budi dan kemuliaan Rasulullah dan terhadap
jasa-jasa Beliau yang sangat besar dan agung.
Di antara
cara melatih mahabbah adalah seperti kata orang Jawa mengatakan “witing
trisno jalaran soko kulino” (asal mula datangnya cinta itu dari kebiasaan).
Ini diterapkan sebagai latihan hati; misalnya: melihat bekasnya (Jawa labet)
mahbub (kekasih), kelihatan orangnya; melihat pakaiannya, kelihatan
orangnya; mendengar suaranya, kelihatan orangnya, dan seterusnya.
Demikian
itu dapat diterapkan untuk melatih hati agar cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Segala makhluk ini adalah milik Allah dan dari Jiwa Rasulullah SAW. Oleh karena
itu, ketika melihat, mendengar, atau merasa sesuatu, seharusnya langsung ingat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan melatih hati seperti itu dalam menghadapi
segala sesuatu, Insya Allah, lama-kelamaan akan tumbuh dalam hati
tunas-tunas mahabbatullah wa mahabbatur-Rasul, sehingga betul-betul
lebur (tenggelam) di dalam mahbub (yang dicintai, kekasih). Dalam kaitan
ini, Muallif Shalawat Wahidiyah pernah mengatakan:
اَلْمَحَبَّةُ
أَنْ تَهَبَ كُلُّكَ فِي الْمَحْبُوْبِ
Artinya:
Cinta yang sejati yaitu apabila engkau menjadi lebur ke dalam yang
engkau cintai.
Dalam
kitab Syarah al-Hakim dikatakan:
حَقِيْقَةُ
الْمَحَبَّةِ أَنْ تَهَبَ كُلَّكَ لِمَنْ أَحْبَبْتَهُ حَتَّى لاَ يَبْقَى
لَكَ مِنْكَ شَيْئٌ [10]
Artinya:
Hakikat cinta adalah sekiranya engkau meleburkan
seluruh dirimu demi untuk orang yang engkau cintai sehingga tidak ada sesuatu pun dari engkau yang tertinggal untuk dirimu sendiri.
[1] Q.S. 39/al-Zumar: 10.
[2] Q.S. 2/al-Baqarah: 153.
[3] Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir
al-Khuwaywi, Durrah al-Nasihin
(Indonesia: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah)., h. 187.
[4] Al-Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz 4, h. 323.
[5] Q.S. 65/al-Thalaq: 3.
[6] Utsman bin Hasan,
Durrah al-Nasihin.
[7] Q.S. 9/al Tawbah: 72.
[8] Q.S. 9/al-Tawbah: 24.
[9] Syaykh Ahmad Shawi, Hasyiyah
al-Shawi …, Juz III, h. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar